Komunitas Onto: Dari Onto Sejarah Bantaeng Dimulai
Sekalipun telah terjadi berbagai perubahan di sana-sini, seiring perjalanan waktu, namun keasrian dan kehijauan alam masih mewarnai Desa Onto. Di sepanjang jalan nampak kebun-kebun jagung dan hutan-hutan kecil menghijau. Itulah Onto satu daerah yang kini menjadi kelurahan dari Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng. Meski berjarak sekitar 30 kilometer dari kota Bantaeng, tetapi bukan hal yang terlalu sulit untuk mengunjungi daerah ini. Hal ini dikarenakan jalanan menuju ke tempat ini sudah diaspal dengan baik. Bahkan hingga sampai di lokasi dimana dianggap sebagai pusat dari Onto yaitu Jambua.
Komunitas Onto adalah satu komunitas adat yang masih menjaga tradisi mereka dengan baik. Setiap tahun komunitas ini melakukan acara ritual tertentu, seperti ritual panen jagung, yang biasa disebut sebagai “Angganre Batara Lolo” (makan jagung muda). Mereka juga memiliki struktur adat tersendiri yang terdiri dari Sanro (seorang perempuan yang bisanya bertugas berkaitan dengan persoalan spritual), Pinati (pengatur system adat dan acara adat didaerah ini), Baku Lompo (bakul besar; yang bertugas dalam acara adat didalam rumah), Baku Caddi (bakul kecil; Yang bertugas di luar rumah bila ada acara adat), Jannang Balla Tujua (Penjaga tujuh rumah yang merupakan simbol adat di daerah ini).
Sejarah Yang Terlupakan
Selain itu Komunitas Onto ini memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu. Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).
Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare, yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Dan pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto)
Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Intervensi Negara
Sayangnya, jejak-jejak sejarah Onto itu telah terlupakan, terkubur bersama dengan kebijakan-kebijakan PEMDA yang berupaya melakukan perubahan dan pembangunan didaerah ini. Ada upaya pemerintah untuk menjadikan daerah ini murni sebagai tempat rekreasi dan parawisata semata. Sehingga ada tempat-tempat tertentu yang dibangun dan ditata, tapi justru merusak sistem khidupan adat didaerah ini. Dan itu semakin nyata dirasakan oleh masayarakat disana pada tahun 1989 pada masa pemerintahan Bupati Mallingkai Maknun. Dengan bantuan dana Bandes, dibangunlah jalan yang membelah daerah adat yang terdapat balla tujua dan memberikan peluang untuk mendirikan rumah dari batu di daerah tersebut. Padahal menurut aturan adat rumah yang boleh ada di sekitar lokasi balla tujua hanya rumah dari kalangan pemangku adat dan hanya boleh terbuat dari bambu.
Pada tahun ini pulalah daerah yang tadinya desa, diubah menjadi kelurahan, dan pajabat lurahnya adalah orang luar yang ditunjuk oleh Bupati dan bukan berasal dari kalangan komunitas adat. Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 22 Maret 1960, pada saat Bupati Rivai Bulu memerintah di Bantaeng, pemerintah mengeluarkan keputusan untuk mengambil arajang atau situs budaya yang ada di tempat itu. Keputusan ini dikeluarkan seiring maraknya stigma terhadap komunitas dan penganut agama lokal. Struktur adat yang berjumlah lima orang itu, kini juga sudah tidak terlalu berfungsi lagi, kecuali bila ada perayaan adat yang dilakukan di komunitas ini. Tugas mereka selama ini sebagian besar telah diambil oleh pemerintah setempat.
Intervensi dari pemerintah dan juga dari kalangan organisasi agama tertentu memang sangat mempengaruhi keberadaan komunitas ini. Mereka bukan saja mempengaruhi sistem kebudayaan mereka secara fisik tetapi juga telah mempengaruhi cara berfikir mereka. Seperti yang diutarakan Baharuddin anak dari Uwa Pempeng (mantang Pinati yang sudah meninggal), masyarakat di Onto sendiri sudah terbelah menjadi dua. Sebagian besar memang masih tetap teguh menjalankan tradisi bahkan sangat menginginkan untuk mengembalikan sistem adat dan ajaran serta ritual yang telah mereka jalankan selama ini namun tak sedikit pula jumlahnya yang sudah tidak menginginkan hal itu. Pihak yang kedua ini menganggap bahwa tardisi yang dijalankan selama ini adalah bentuk ketertinggalan dan kekolotan. Bahkan dianggap bisa menjerumuskan ke hal yang berbau kemusyrikan.
Sejumlah masyarakat adat di daerah ini menyatakan kekecewaannya akan pembangunan di Onto yang justru merusak sistem adat dan tradisi yang selama ini mereka jaga. Seperti yang dikemukakan oleh Pinati Suardi: “Masyarakat dulu di sini masih teguh menjalankan tradisi yang mereka yakini. Sayangnya karena selalu dianggap oleh pemerintah sebagai sikap ketertinggalan, kita tidak bisa berkembang. Ditambah lagi selalu dianggap sebagai perbuatan musyrik, maka sebagian dari masayarakat sudah tidak lagi menjalankan tradisi dari adatnya.”
Pinarti menunjuk pada sejumlah lokasi yang menjadi pusat dari acara ritual, dan kini sudah tidak jelas lagi. Rumah-rumah adat yang tadinya hanya boleh terbuat dari atap bambu dan dinding gamacca (dinding terbuat dari bambu), serta lampu-lampu dari kanjori (lampu yang terbuat dari kemiri) kini sudah tidak ada lagi. “Semua telah berganti dengan rumah-rumah batu dan kayu yang bagus-bagus,” lanjut Pinati Suardi bernada mengeluh. Para pemangku adat rata-rata masih menginginkan agar tradisi mereka terus berjalan seperti dulu. Seperti yang ditegaskan oleh Baharuddin generasi penerus adat didaerah ini: “Nakke se’reji pakpalakku, painroi pole ada’ sampulo ruayya” (Satu saja permintaan saya kembalikan system adat 12 yang pernah berjalan didaerah ini).
Post a Comment