Balla Lompoa di Kabupaten Bantaeng
TAK salah memang jika Kabupaten Bantaeng disebut Butta Toa atau Kota Tua. Di daerah yang berjarak kira-kira 120 kilometer dari Makassar ini, banyak ditemukan peninggalan sejarah. Salah satunya adalah Balla Lompoa.JANGAN berpikir bahwa Balla Lompoa adalah sebuah rumah milik raja dengan ukuran besar. Balla Lompoa yang dimaksud di sini, luasnya tak lebih dari 11x11 meter. Balla Lompoa yang ada saat ini bisa didapati adalah replika dari bentuk aslinya.
Pembangunannya dilakukan tahun 2005 lalu. Biayanya berasal dari seluruh keturunan raja. Balla Lompoa adalah rumah panggung dengan tinggi 2,5 meter dan memiliki 30-an tiang bangunan. Untuk membangun replikanya, memang tidak mudah. Diperlukan sedikitnya 12 jenis kayu. Itupun, saat ditebang kayu tidak boleh menyentuh tanah.
Sedangkan Balla Lompoa asli yang dibangun sejak tahun 1886, tepat berada di belakang bangunan baru. Kondisinya nyaris rubuh dan dibiarkan begitu saja. Akibat kerap dilanda banjir, tiang rumah semakin rendah; hanya setengah meter dari tanah.
Sebenarnya, masih ada satu lagi Balla Lompoa yang terletak di Jl Ratulangi, tepatnya di depan kantor Bank Sulsel Bantaeng. Jaraknya sekira 100 meter dari Balla Lompoa yang ada di kampung Lantebung. Saat ini, sementara dalam tahap renovasi oleh pemerintah setempat.
Dahulu, Balla Lompoa ini menjadi rumah dinas bagi regen (istilah Belanda untuk bupati, Red), sedangkan yang berada di Lantebung adalah rumah kediaman pribadi bersama keluarga.
“Mungkin karena bukan keturunannya, makanya Balla Lompoa itu belum rampung. Padahal, direnovasi sejak tahun 2005 lalu,” kata salah seorang keturunan Raja Bantaeng, Andi Rahmat AB yang akrab disapa Karaeng Dode.
Raja terakhir yang menempati Balla Lompoa adalah Karaeng Pawilloi beberapa puluh tahun lalu. Keturunan Karaeng Pawilloi, antara lain dua kandidat Bupati Bantaeng; Nurdin Abdullah dan Arfandy Idris. Letak Balla Lompoa cenderung tersembunyi tetapi mudah dikenali. Saat penulis berkunjung pekan lalu, sisa-sisa pilkada masih tampak.
Rupanya, Balla Lompoa ini menjadi posko utama salah satu pasangan kandidat. Lokasi Balla Lompoa dikenal oleh warga setempat sebagai Lantebung. Di sini, masih terdapat berbagai peninggalan sejarah, seperti; meriam kecil, Balla Batua, dan lainnya.
Yang menandakan kawasan ini sebagai tempat tinggal raja zaman dahulu adalah tembok di sekelilingnya yang sudah mulai runtuh di sejumlah titik akibat dimakan usia. Juga
ada gapura sebagai pintu gerbang untuk masuk di kawasan ini. Bangunan utama yang disebut Balla Lompoa, kini juga berubah fungsinya.
“Tidak ada lagi raja atau keturunannya yang tinggal di Balla Lompoa. Kecuali juru kunci (pinating, Red) yang bertugas menjaga dan membersihkannya. Itupun dibuka pada saat-saat tertentu saja,” ujar Arfandy Idris kepada penulis, beberapa waktu lalu.
Saat penulis berkunjung ke Balla Lompoa, Arfandy bersama timnya sementara berkumpul di bawah kolong rumah. Mereka membicarakan pilkada. Namun, Arfandy harus mengakui keunggulan keturunan raja lainnya, Nurdin Abdullah.
Balla Lompoa saat ini, hanya menjadi tempat penyimpanan barang-barang pusaka milik Kerajaan Bantaeng. Karaeng Dode yang merupakan keturunan ketiga dari Karaeng Pawilloi, mengatakan, ada puluhan benda pusaka yang tersimpan rapi.
Di antaranya, baju rantai untuk perang, trisula, payung raja, keris, tombak, perhiasaan, dan benda-benda lainnya. Sayangnya, tidak sembarang orang bisa melihatnya, kecuali keturunan raja atau karaeng.
“Bisa-bisa kalau bukan keturunan karaeng yang melihat, akan kerasukan. Juga ada waktu-waktu tertentu benda-benda itu bisa diperlihatkan. Seperti pada saat benda pusaka itu dibersihkan,” katanya.
Benda-benda itu bisa diperlihatkan saat ada keturunan raja yang menggelar hajatan. Diceritakan, pada suatu ketika seseorang yang bukan keturunan raja mencoba-coba menggunakan baju rantai.
Seperti punya kekuatan gaib, baju besi itu tiba-tiba makin mengecil sehingga orang yang menggunakannya nyaris tercekik. Beruntung, nyawanya masih bisa diselamatkan.
Selain sebagai tempat menyimpan pusaka, Balla Lompoa juga menjadi tempat “minta izin” bagi keturunan raja yang punya kaul atau keinginan. Misalnya saja, Arfandi Idris. Saat mendaftar di KPU sebagai calon bupati, anggota DPRD Sulsel ini, berangkat dari Balla Lompoa. (*)
SEPERTI rumah peninggalan raja-raja di Sulsel lainnya, Balla Lompoa, penuh dengan mitos. Warga setempat masih mempercayai kekuatan gaib sehingga banyak yang datang untuk sekadar minta izin atau maksud lainnya. BALLA Lompoa yang sebelumnya selalu tertutup rapat, Jumat kemarin, pintunya terbuka lebar. Kebetulan, penulis beruntung tengah mendapati pinating atau juru kunci sedang membersihkan beberapa bagian rumah.
Di ruang utama, tidak ada satu pun perabotan. Hanya, beberapa lembar karpet. Kecuali, salah satu ruang yang berada di samping, terdapat seperangkat kursi untuk menerima tamu. Salah satu tiang besar di dalam rumah dibungkus kain berwarna merah.
Di dekat tiang ini, setiap malam Jumat, pinating selalu menyalakan lampu. Tetapi bahannya dari minyak biji kemiri yang ditumbuk. Dalam bahasa Bantaeng disebut Kanjolo, mirip obor. Bedanya, obor menggunakan minyak tanah.
Antara ruang utama dengan ruang belakang, dibatasi dinding. Di ruang ini, penulis sempat melihat seperangkat alat band yang tersusun rapi. Alat-alat musik itu rupanya milik salah seorang cucu raja yang disimpan sementara di atas rumah karena banjir. Di ruang belakang ini, terdapat sebuah tangga untuk naik di tempat penyimpanan benda-benda pusaka.
Sayangnya, tidak sembarang orang yang bisa melihat langsung benda-benda yang dianggap keramat itu. Keturunan raja pun harus minta izin ke “penunggunya”.
Dg Muna ,57, dan suaminya, Dg Balle, sejak lima tahun lalu ditunjuk sebagai pinating oleh keluarga kerajaan Bantaeng untuk menjaga Balla Lompoa. Dia menggantikan pinating sebelumnya,
Halijah. Tugasnya, membersihkan dan merawat rumah.
“Setiap hari rumah dibersihkan. Termasuk, meladeni tamu yang berkunjung ke sini,” kata Dg Muna.
Dia mengaku ditunjuk sebagai pinating karena sejak kecil dipelihara oleh Karaeng Dampo, istri dari Andi Manapiang,-- salah seorang raja di Bantaeng.
Tetapi, tidak tinggal di Balla Lompoa. Bersama suaminya, perempuan setengah baya ini, memilih tinggal di salah satu rumah, tapi masih dalam kompleks Balla Lompoa di Lantebung.
Dg Muna mengungkapkan, sejak menjadi pinating, banyak melihat dan mendengar hal-hal gaib. Dia kerap didatangi lewat mimpi oleh “penunggu” Balla Lompoa.
“Kalau yang di atas rumah, ‘penunggunya’ bernama Kalompoang sedangkan yang di bawah rumah namanya Karaeng Manurung. Apapun yang dilakukan di Balla Lompoa, harus minta izin. Kalau tidak, akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan,” katanya, serius.
Apa yang diungkapkan Dg Muna, mungkin ada benarnya. Penulis yang sempat memotret aktivitas di
ruang utama, terpaksa kecewa. Gambarnya, tidak bisa terlihat. Bahkan, seperti dituturkan warga setempat, saat Balla Lompoa dibangun tahun 2005 lalu,
seorang pekerja meninggal tiba-tiba, hanya karena berbicara sombong dan tidak percaya ada kekuatan gaib yang menunggu Balla Lompoa.
Nah, tugas lain dari Dg Muna adalah berkomunikasi dengan “penunggu” Balla Lompoa. Komunikasi itu bisa melalui mimpi, firasat, atau bisikan. “Kadang, kalau ada tamu dalam jumlah besar mau datang, saya mendengar bisikan untuk bersiap-siap dan membersihkan rumah,” jelasnya.
Selain keturunan raja Bantaeng, tak jarang Balla Lompoa juga didatangi warga dari berbagai daerah. Umumnya, mereka meminta restu atau izin agar niatnya bisa tercapai. Banyak yang datang kembali membawa sesaji sebagai ungkapan terima kasih, jika niatnya berhasil dikabulkan.
Keturunan raja Bantaeng menjaga dan memelihara Balla Lompoa. Mereka tetap mempertahankan sesuai aslinya. Berbeda dengan Balla Lompoa yang terletak di Jl Dr Ratulangi depan Bank Sulsel, Bantaeng. Pihak keluarga sudah menyerahkan rumah tersebut untuk dikelola pemerintah setempat. Pemugarannya sudah dilakukan berbulan-bulan, hanya saja hingga kini belum rampung.
Saat mulai dikerjakan pun banyak peristiwa terjadi di luar logika manusia. “Waktu pemasangan tiang, bukan kayunya yang terangkat, tetapi eskavatornya (alat pengangkat, Red) yang terangkat naik. Mungkin karena ada syarat-syaratnya tidak lengkap, makanya belum rampung sampai sekarang.
Padahal, sebelum membangun kita sudah menggelar ritual,” ujar Ismail Pawilloi, salah seorang keturunan raja Bantaeng.
Lelaki yang akrab disapa Karaeng Nippong ini mengatakan, saat renovasi Balla Lompoa di Lantebung, juga demikian adanya. Sampai-sampai untuk menancapkan satu tiang induk, 300 orang dikerahkan. Termasuk menggelar ritual sesuai perintah “penunggunya”.
Baca prediksi angka togel mistik oleh mbah jambrong di artikel prediksi togel jitu
BalasHapusTabe' karaeng..sy ingin sekali mengetahui silsilah karaeng Lantebung ayah dr kr Hani..siapakah beliau dan apa hubungannya dgn ym karaeng pawiloi raja ke 30 Bantaeng..
BalasHapus